Dalam dunia internet yang selalu berkembang, muncul sebuah fenomena baru yang memadukan kecerdasan buatan (AI) dengan budaya kucing yang sudah mendominasi media digital. Chubby, seekor kucing yang dihasilkan oleh AI, telah menjadi sorotan utama di berbagai platform seperti TikTok dan YouTube Shorts. Kucing yang selalu digambarkan gemuk dan berwarna oranye ini muncul dalam berbagai situasi yang aneh dan menyedihkan, menarik perhatian jutaan penonton di seluruh dunia.
Chubby bukanlah satu-satunya kucing AI yang mencuri perhatian. Banyak konten serupa yang mulai bermunculan di media sosial, di mana kucing-kucing ini ditempatkan dalam skenario yang mengharukan atau bahkan absurd. Salah satu video yang paling terkenal menampilkan Chubby bersama anaknya, Chubby Jr., dalam situasi yang sangat memilukan, dari meminta makanan di jalanan hingga dipenjara. Video tersebut berhasil menarik lebih dari 50 juta penonton dan ribuan komentar dari berbagai bahasa.
Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan tentang hubungan antara seni dan teknologi. Apakah ini benar-benar seni, atau hanya produk dari algoritma yang memahami selera audiens? Banyak orang yang merasa bingung, terkejut, atau bahkan tergerak secara emosional oleh video-video ini. Namun, yang jelas, konten seperti ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital saat ini.
Jessica Maddox, seorang profesor di Universitas Alabama, berpendapat bahwa kucing telah lama menjadi ikon di internet karena fleksibilitas visualnya. “Gambar kucing bisa diartikan apa saja, tergantung pada bagaimana kita ingin menggambarkannya,” kata Maddox. Dengan kemajuan teknologi AI, para penggemar kucing kini beralih dari foto-foto tradisional ke gambar-gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, menciptakan genre baru konten online yang dengan cepat menjadi viral.
Namun, tidak semua orang senang dengan tren ini. Beberapa pengguna merasa bahwa konten yang dihasilkan oleh AI, termasuk kisah-kisah tentang Chubby, hanya menambah “sampah” di internet dan merusak kualitas konten yang ada. Meski demikian, para pembuat konten terus memproduksi video-video ini, memanfaatkan algoritma media sosial yang lebih sering menyajikan konten yang menggerakkan emosi penonton.
Seiring dengan semakin banyaknya konten AI yang membanjiri internet, mungkin inilah gambaran masa depan dunia digital kita—di mana mesin tidak hanya membuat konten untuk manusia, tetapi juga untuk sesama mesin.