Platform media sosial TikTok memang sedang berada di puncak popularitas. Seperti dua sisi mata uang, aplikasi tiktok ini memiliki dampak negatif dan positif.
Aplikasi garapan Zhang Yiming yang diluncurkan pada September 2016 ini memberikan fitur layanan berupa editing video pendek dengan musik yang dapat dibuat oleh setiap pengguna. Melihat potensi berdasarkan jumlah pengguna internet di Indonesia, pada September 2017, tim marketing TikTok melakukan promosi dengan mengundang 100 kreator. Cara tersebut pun berhasil menarik minat para pengguna internet.
Meski sukses gaet pengguna, perjalanan TikTok sempat terhenti. Tepat 3 Juli 2018, Kemenkominfo memutuskan untuk memblokir aplikasi TikTok secara resmi dari Indonesia. Sebanyak 2.853 laporan negatif menjadi dasar Kemenkominfo melakukan pemblokiran. Beberapa laporan menyebutkan tentang dampak negatif aplikasi tersebut di antaranya berupa konten pornografi dan sederet konten negatif lainnya meski di awal aplikasi TikTok dibuat untuk adu kreativitas dalam membuat video musik.
Belakangan, TikTok kembali menjadi sorotan karena usia penggunanya di Amerika Serikat. Sepertiga usernya diduga berusia 14 tahun atau bahkan lebih muda. Berbagai macam bentuk kekhawatiran muncul karena hal tersebut. Pihak TikTok kemudian mulai membenahi permasalahan tersebut dengan meluncurkan fitur Family Pairing agar para orang tua dapat mengatur penggunaan TikTok bagi anak-anak mereka.
Fakta Tiktok
Berdasarkan paparan data perusahaan, TikTok telah menghapus sedikitnya 7 juta akun dengan kriteria usia di bawah umur. Langkah ini mungkin saja menjadi strategi perusahaan asal China tersebut untuk menarik lebih banyak pengguna dengan kebijakan yang tegas terhadap pengguna di bawah umur pada media sosial tersebut.
Tudingan terhadap perusahaan TikTok sempat muncul karena dianggap melanggar Children’s Online Privacy Protection Act melalui data-data pengguna di bawah umur tersebut. Regulator perlindungan data Italia bahkan meminta perusahaan tersebut untuk memperketat regulasi usia agar anak-anak tidak lagi terdaftar sebagai pengguna aplikasi TikTok.
Jika melihat dampak nyata yang dihasilkan oleh aplikasi tersebut, TikTok memang lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap penggunanya, terutama pengguna dengan usia belia. seorang anak 10 tahun meninggal dunia setelah mengikuti blackout challenge di Sisilia. Hal ini menunjukkan betapa penggunaan aplikasi TikTok sudah tidak sehat dan aman.
Berikut ini beberapa rangkuman dampak negatif TikTok sebagai platform media sosial :
Menimbulkan Kecanduan
TikTok merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang belakangan semakin pesat. Bagi para kaum muda, platform media sosial menjadi pembaharuan yang tampak asyik dan menarik. Terlebih, pada aplikasi ini para penggunanya diberikan wadah untuk berbagi banyak hal, mulai dari video musik, kumpulan foto, video keseharian, kejadian yang terekam, membuat video joget, mengikuti challenge aneh dan apapun yang ingin dibagi.
Aplikasi TikTok pun menjadi tren yang membuat semakin banyak generasi mengikutinya. Alhasil, karena TikTok sebagian besar penggunanya mulai kecanduan untuk membuat atau sekedar menonton video di platform tersebut. Tak tanggung-tanggung, setiap orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan seharian untuk TikTok-an.
Hal ini jelas memberikan dampak buruk bagi kehidupannya. Produktivitas terhambat dan parahnya, seseorang bisa merasakan kegelisahan jika tidak mengakses aplikasi tersebut. Pada tahap ini, perilaku tersebut sudah bisa disebut kecanduan TikTok karena ia tidak bisa melepaskan diri dan sudah kehilangan kemampuan untuk membedakan mana realitas yang perlu menjadi prioritas dibandingkan dengan kehidupannya di dunia maya.
Mengurangi Keterampilan Sosial
Berbagai macam informasi berbentuk video diupload setiap harinya. Satu pengguna saja bisa memiliki puluhan hingga ratusan konten. Banyak generasi muda yang terlalu sibuk dengan TikToknya. Mereka mulai lupa ada kegiatan-kegiatan lainnya yang lebih memberi manfaat. Keterampilan sosial menurun karena sudah terlalu asyik memainkan ponsel sembari terus memantau dan membuat video di aplikasi TikTok.
Rata-rata kaum muda masa kini tidak lagi bercengkerama membicarakan hal-hal yang semestinya bisa mereka bicarakan. Membuat video TikTok dianggap lebih keren dan gaul ketimbang mengerjakan hal lain yang bisa memberikan lebih banyak manfaat. Dengan alasan membutuhkan hiburan, anak-anak muda kita menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan smartphone-nya.
Perubahan perilaku ini sangat memengaruhi keterampilan sosial mereka, dimana mereka merasa mendapatkan hiburan melalui aktivitas berjoget di depan kamera, membuat video dan menonton video saja sudah cukup. Sangat memprihatinkan.
Tsunami Konten, Termasuk Konten Negatif
Menyadari TikTok didominasi oleh konten negatif, sebagian orang yang peduli ikut masuk dan mengisinya dengan konten edukasi untuk melawan konten negatif. Namun, tsunami konten tidak bisa dihindari. Entah berapa banyak konten yang diunggah setiap waktu, bahkan berhenti sedetikpun tidak. Aneka konten muncul dari mana saja.
Konten pornografi yang tidak semestinya diakses oleh pengguna usia belia hingga konten unfaedah yang hanya membuang waktu berseliweran di beranda aplikasi. Isi kepala anak muda sekarang umumnya berisi konten, konten dan konten. Apapun, harus menjadi konten. Tentu saja hal ini juga turut berpartisipasi menjadi bagian dari tsunami konten yang menenggelamkan banyak orang ke dalamnya.
Konten positif akhirnya tertutupi dengan konten-konten receh yang kurang bermanfaat. Mengaksesnya sesekali, mungkin memang menghibur. Namun, mengakses ratusan hingga ribuan konten hanya akan menyia-nyiakan waktu saja.
Baca Juga : Instagram Reels, Apakah Reels dapat Bersaing dengan TikTok?
Memunculkan Stigma Negatif
Tidak dapat dipungkiri, meski berhasil mendapatkan banyak pengguna, tidak sedikit yang mengidentikkan TikTok dengan hal-hal yang disebut alay atau berlebihan. Beberapa jenis konten yang dianggap berlebihan dan tidak memberikan manfaat di antaranya konten prank, konten narsistik, konten pornografi, konten perkelahian dan konten remeh temeh yang dianggap tak pantas atau tidak perlu dibagikan di media sosial.
Mengikis Budaya Malu
Tak sedikit generasi muda yang tidak lagi malu menggoyangkan tubuhnya di depan umum, di hadapan kamera ponselnya, hanya demi konten. Apapun bisa dilakukan demi membuat konten, termasuk melanggar norma kesopanan. Hal ini tentu menjadi kabar buruk bagi perkembangan generasi muda kita. Dunia digital yang tidak terbatas membuat mereka pergi terlalu jauh tanpa mengindahkan sisi kepantasan.
Meski tak semua konten negatif, namun konten negatif terus bermunculan dan memberikan dampak yang buruk. Di era pandemi yang serba digital, waktu akses ke media sosial menjadi lebih lama. Sebagian generasi kita tidak sedang sibuk belajar atau melakukan hal yang bermanfaat, melainkan sibuk dengan ponselnya, lupa belajar, lupa bersosialisasi, lupa melakukan hal yang seharusnya dilakukan.
Media digital memang memiliki manfaat, namun jika tidak digunakan dengan benar, hanya akan menghasilkan dampak negatif. Aplikasi TikTok bisa saja didominasi dengan konten positif, namun semua kembali pada seberapa bijak penggunanya. Melihat isi dan dampaknya yang buruk, sebagian orang pun memutuskan untuk tidak menggunakan aplikasi tersebut. Melihat betapa trendy dan populernya aplikasi TikTok, sebagian lainnya memutuskan untuk masuk, dari yang sekedar ikut-ikutan hingga yang cukup serius berniat melakukan penyegaran dengan konten-konten positif yang asyik.
Dampak negatif TikTok memang tidak bisa diremehkan, namun mudah-mudahan ada perubahan positif yang membawa dampak baik. Mereka yang berupaya mengisi laman berandanya dengan konten edukasi atau konten positif lainnya patut diapresiasi. Karena lagi-lagi keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan aplikasi Tiktok ada di tangan setiap pengguna.